contact us smahangtuah5sidoarjo@gmail.com (031) 8056489
contact us smahangtuah5sidoarjo@gmail.com (031) 8056489

MEMBUDAYAKAN BERPIKIR KRITIS MELALUI HUBUNGAN LDR (LITERASI DALAM RUMAH)

MEMBUDAYAKAN BERPIKIR KRITIS MELALUI HUBUNGAN LDR (LITERASI DALAM RUMAH)

Muchammad Bachrul Alam, S.Pd

Pendidik di SMA Hang Tuah 5 Sidoarjo

PENDAHULUAN

            Budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sangatlah beragam. Salah satu budaya tersebut adalah banyak berbicara. Telah disepakati bersama oleh masyarakat Indonesia sendiri bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang banyak bicara dibandingkan berbuat.

Budaya berbicara mungkin tidak akan lepas dari bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia lebih sibuk melihat dan memahami orang lain berdasarkan sudut pandang mereka sendiri tanpa memahami apa yang sebenarnya mereka lakukan. Setidaknya untuk bisa mengurangi kebiasaan budaya berbicara tersebut, bangsa Indonesia sudah saatnya harus menggalakkan dengan serius budaya literasi, yakni budaya membaca dan menulis. Dengan budaya literasi ini, masyarakat Indonesia bisa menjadi lebih baik dan bisa memahami apa yang mereka lakukan dan apa yang harus mereka kerjakan.

Berbeda terbalik jika permasalahan budaya membaca dan menulis dapat dikalahkan dengan kegiatan yang lain misalnya menonton televisi pada saat kegiatan literasi dikesampingkan. Herannya, tidak ada respon yang berlebihan bahkan mungkin malah tidak ada ketika media sempat menampilkan data BPS, yang menyatakan bahwa jumlah rata-rata waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per hari. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding anak-anak di Australia yang hanya 150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari, apalagi di Kanada yang hanya 60 menit per hari (Republika, 12 September 2015).

Pemerintah Indonesia juga tampak adem ayem saja ketika UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10—20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10 – 15 buku setahun (Republika, 12 September 2015).

Data terkait minimnya kesadaran literasi di Indonesia dibuktikan dengan adanya hasil studi Program for International Student Assesment (PISA) yang diselenggarakan tiap tiga tahun sekali. Program tersebut bertujuan untuk mengukur kualitas hasil pendidikan dari berbagai negara telah dirilis pada 2018 lalu. Hasil menunjukkan kemampuan membaca anak Indonesia adalah yang terendah dari kemampuan bidang matematika dan sains. Nilai kemampuan membaca menunjukkan skor 371 (tiga ratus tujuh puluh satu), tertinggal 116 poin dari rata-rata Negara lain yaitu skor 487 (empat ratus delapan puluh tujuh). Ditinjau dari hasil skor tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan membaca seharusnya mendapat perhatian lebih. Pemerintah bersama-sama melakukan program peningkatan kemampuan membaca yang didukung oleh setiap lapisan masyarakat, (Mahbudin, 13 Juli 2020).

Selain itu, dukungan program literasi dari pemerintah yang telah dicanangkan sejak 2016, masih sangat perlu evaluasi untuk menjadi program berkelanjutan yang lebih baik lagi. Pembentukan program tersebut adalah Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang terdiri dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi  Masyarakat (Indeks Aktivitas Literasi Membaca, 2019).

Mahbudin (2020) mengemukakan gagasannya terkait literasi Indonesia, yakni: 1) pemerintah telah serius dalam membangun budaya literasi Indonesia, 2) pemerintah belum maksimal mengawal berbagai regulasi terkait gerakan literasi bangsa ini, padahal pemerintah berhak menjatuhkan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku terhadap instansi yang tidak melaksanakan program pemerintah, 3) pemerintah membutuhkan peran serta para pemangku kebijakan, pegiat literasi dan masyarakat umum untuk berkolaborasi mensukseskan program mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

Jika gerakan literasi tidak segera dikawal  dengan program berkesinambungan dan berkelanjutan, maka bisa dipastikan kesadaran literasi bangsa Indonesia akan semakin tertinggal dengan negara-negara lain.

Selain faktor regulasi yang belum maksimal, faktor sarana dan prasarana yang mendukung gerakan literasi perlu adanya fasilitas hingga ke pelosok negri. Hal ini dibutuhkan peran yang utuh untuk mendukung program gerakan literasi tersebut dari seluruh lapisan masyarakat, sekolah, pegiat literasi hingga kebijakan pemerintah.

Berkaca dengan situasi saat ini, Informasi dari beberapa media terkait pandemi Covid-19 belum kunjung usai. Hal tersebut menjadikan masyarakat seakan bosan dan jenuh dengan kondisi yang terus menerus diselimuti pandemi. Berbagai media gencar menyampaikan informasi berita selama pandemi, sudah seharusnya sebagai masyarakat wajib menyaring informasi, agar tak termakan berita hoax yang bertebaran. Kenyataannya, tak sedikit masyarakat masih menelan mentah-mentah berita yang didapat dan percaya begitu saja, banyak pula yang memilih mengabaikan berita penting saat ini.

Hal ini disebabkan oleh kesadaran literasi dimasyarakat yang masih sangat minim, sehingga berpengaruh pada potensi pengembangan literasi anak di lingkungan masyarakat, yang mana kebiasaan tersebut merupakan hal yang tak baik jika terus berkelanjutan.

Kesadaran literasi sangat dibutuhkan saat ini, terutama dalam menghadapi situasi yang mengancam manusia selama pandemi. Kurangnya literasi masyarakat Indonesia, menambah buruknya situasi saat ini. Hal tersebut dibuktikan dengan masyarakat yang mulai acuh tak acuh dengan keadaan sekitar, seperti halnya tidak memakai masker, jaga jarak dan rajin cuci tangan untuk mencegah terjangkitnya covid-19 selama pandemi. Fakta tersebut menjadi bukti bahwasanya masyarakat Indonesia masih minim akan kesadaran literasi, terutama literasi terhadap kondisi saat ini.

Jadi, permasalahan yang ingin dibahas dalam artikel ini adalah bagaimana meningkatkan budaya literasi di Indonesia khususnya dalam ruang lingkup rumah denganmembudayakan berpikir kritis dengan LDR (Literasi Dalam Rumah).

PEMBAHASAN                                                               

            Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan bukan buta huruf. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi      (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Jadi, keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik.

Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Kepekaan atau literasi pada seseorang tentu tidak muncul begitu saja. Tidak ada manusia yang sudah literat sejak lahir.

Menciptakan generasi literat membutuhkan proses panjang dan sarana yang kondusif. Proses ini dimulai dari kecil dan dari lingkungan keluarga, lalu didukung atau dikembangkan di sekolah, lingkungan pergaulan, dan lingkungan pekerjaan. Budaya literasi juga sangat terkait dengan pola pembelajaran di sekolah dan ketersediaan bahan bacaan di perpustakaan. Tapi kita juga menyadari bahwa literasi tidak harus diperoleh dari bangku sekolah atau pendidikan yang tinggi. Kemampuan akademis yang tinggi tidak menjamin seseorang akan literat.

Membahas terkait proses pendukung literasi yang dikembangkan di sekolah, kini akan berbeda dikarenakan adanya Covid-19. Pascapandemi Covid-19 terjadi di Indonesia awal Maret 2020, maka kegiatan belajar tatap muka di sekolah pun dihentikan, diganti dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Konsekuensinya, kegiatan literasi secara langsung di sekolah pun terhenti. Tidak ada lagi aktivitas membaca 15 menit sebelum pembelajaran dan aktivitas lainnya terkait literasi. Ada guru yang mencoba menghidupkan gerakan literasi secara daring/digital, tetapi kendala kepemilikan smartphone/laptop, buku/sumber bacaan, terlebih kendala kuota internet di kalangan siswa menjadikan hal tersebut berjalan kurang optimal. Jangankan untuk menjalankan aktivitas membaca buku nonteks sebagai “suplemen” dalam kegiatan dalam pembelajaran, untuk mempelajari materi pokok dalam pelajaran saja, banyak siswa yang mengalami kendala sinyal dan kuota internet.

Di saat geliat literasi di kalangan siswa mengalami penurunan, justru dapat dikatakan bahwa  geliat gerakan literasi dominan di kalangan guru. Banyak guru yang pada akhirnya terpaksa atau dipaksa mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) karena tuntutan pengelolaan pembelajaran secara daring. Banyak webinar yang diikuti oleh guru sebagai sarana untuk meningkatkan wawasan mereka. Dengan kata lain, di masa pandemi ini, ada tren peningkatan aktivitas literasi digital di kalangan guru.

Guru penggerak literasi di sekolah tetap menghidupkan ruh literasi di kalangan peserta didiknya walau menghadapi keterbatasan secara jarak jauh atau LDR (Literasi dalam Rumah). Maksud literasi di sini tidak hanya identik dengan membaca buku saja, tetapi dalam konteks yang lebih luas dan dikaitkan dengan Covid-19. Para siswa bisa mengamati lingkungan sekitar rumahnya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Menuliskan jumlah kasus Covid-19 di lingkungannya (jika ada).  Mengamati dan menuliskan sikap dan respon masyarakat terhadap Covid-19, mengidentifikasi langkah-langkah yang dilakukan oleh pengurus lingkungannya dalam mencegah penularan Covid-19, menuliskan pendapatnya sebagai individu, sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara, atau sebagai hamba Tuhan YME terkait dengan masalah tersebut. Selanjutnya para siswa bisa diminta untuk membuat puisi, gambar, poster, atau video terkait pencegahan Covid-19, dan berbagai tugas lainnya.

Dengan demikian, kendala-kendala teknis seperti tidak adanya buku-buku bacaan untuk siswa dapat teratasi. Inilah yang saya sebut sebagai literasi kreatif di era pandemi yaitu membudayakan berpikir kritis dengan hubungan LDR (Literasi dalam Rumah). Ibarat sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Satu tugas yang diberikan kepada siswa bisa bersentuhan dengan beberapa jenis literasi seperti literasi baca-tulis, literasi kesehatan, literasi lingkungan, literasi numerasi, literasi finansial, literasi teknologi informasi, literasi spiritualitas, literasi seni-budaya, dan literasi kewarganegeraan. Intinya, kembali kepada kreativitas guru dalam memberikan penugasan kepada para siswa.

Walau dalam kondisi pandemi, semangat untuk menumbuhkan gerakan literasi jangan sampai padam. Tidak perlu dilakukan Secara secara seremonial atau dinyatakan secara resmi bahwa tugas yang diberikan kepada siswa itu adalah gerakan literasi, karena khawatir dianggap menjadi beban baru bagi siswa mengingat bahwa kondisi psikologi siswa disaat pandemi harus dijaga alias jangan sampai stres.

Kemudian secara umum tantangan dalam dunia literasi Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa aspek sebagai berikut:

  1. Anak memiliki akses yang terbatas terhadap sumber informasi terutama buku. Di daerah terpencil, keterbatasan akses ini disebabkan oleh kondisi geografis yang menyebabkan harga buku dan pengiriman buku tidak terjangkau. Selain itu, produksi buku-buku kebanyakan terjadi di Pulau Jawa dan sekitarnya. Keterbatasan akses buku juga antara lain disebabkan oleh kemiskinan dan prioritas pemenuhan kebutuhan yang masih berfokus pada kebutuhan pokok. Hal ini yang dialami oleh banyak keluarga di Pulau Jawa dan daerah lain di seluruh Indonesia.
  2. Ketersediaan sumber-sumber informasi terutama buku-buku yang berkualitas terbatas. Tersedianya buku-buku yang berkualitas mampu mengembangkan kecerdasan bahasa, visual, kognitif anak dengan konten yang relevan dengan usia dan topik pengajaran sangat terbatas.
  3. Buku tidak digunakan dalam kegiatan interaktif yang menarik dan berkelanjutan. Hal ini berlaku untuk anak dengan semua tingkatan umur dan level kompetensi. Ketika anak sudah bisa membaca, maka dia akan dibiarkan membaca sendiri. Padahal, riset membuktikan bahwa ketika buku dibacakan nyaring (read-aloud) kepadanya, anak mampu mengembangkan imajinasi, juga respon kritis dan kreatif. Dalam level usia yang lebih tinggi, buku yang dibacakan nyaring dan digunakan untuk mengembangkan diskusi akan mengembangkan kemampuan kritis, analitis, dan sintesis.
  4. Kurangnya figur teladan “Pembaca” di rumah, sekolah, dan lingkungan.
    Memberi teladan mengenai asyiknya membaca dan menularkan virus membaca sangat strategis untuk meningkatkan minat baca anak. Karenanya, kegiatan membaca tereduksi menjadi aktivitas pembelajaran formal yang mengukur dan mengevaluasi anak dengan target tertentu.
  5. Minat Membaca Anak Perlu Dirawat. Tingginya minat anak dan remaja terhadap teknologi belum dimanfaatkan untuk membuat bacaan lebih menarik dan mudah dijangkau oleh mereka. Anak-anak yang terlahir di era teknologi informasi (digital natives) membaca dan menulis dengan cara yang berbeda dari generasi sebelum mereka.
  6. Pendidikan Literasi kecakapan utama membentuk kemampuan Berpikir Tinggi. Pembelajaran yang dilaksanakan di rumah secara daring oleh guru-guru di sekolah belum mampu mengembangkan kemampuan berpikir tinggi (high-thinking order) yang meliputi kemampuan analitis, sintesis, evaluatif, kritis, imajinatif, dan kreatif.

Kemudian, literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini disebut sebagai pengembangan budaya literasi informasi.

Pengembangan budaya literasi ada beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di dalam rumah.

  1. Mengondisikan lingkungan fisik ramah literasi lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan anggota keluarga. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Rumah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area rumah, termasuk ruang tamu, kamar, ruang belajar, dlsb. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut Baca di setiap sudut rumah yang akan memberikan kesan positif tentang komitmen anggota keluarga yang berada dalam satu ruangan terhadap pengembangan budaya literasi.
  2. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen keluarga. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik setiap bulannya. Pemberian penghargaan dapat dilakukan ketika adanya pembiasaan secara rutin terkait gerakan LDR (Literasi dalam Rumah) untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya pada anak/siswa. Dengan demikian, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Peran orang tua sebagai relawan gerakan literasi dalam rumah (LDR) akan semakin memperkuat komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literasi.
  3. Mengupayakan kondisi rumah sebagai lingkungan akademik yang literat. Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di dalam rumah. Di rumah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dan orang tua memantau  selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya.

Membudayakan berpikir kritis melalui hubungan LDR (Literasi dalam Rumah) dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan keluarga. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas rumah (ketersediaan fasilitas, bahan bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga rumah, dan kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang relevan). Berikut ini tahapan Gerakan LDR (Literasi dalam Rumah):

  1. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan di rumah. Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca dalam diri warga rumah. Penumbuhan minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi peserta didik.
  2. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk meningkatkan kemampuan literasi dalam rumah. Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan pengayaan.
  3. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi jarak jauh. Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan mengembangkan kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui kegiatan menanggapi teks buku bacaan pengayaan dan buku pelajaran. Dalam tahap ini ada tagihan yang sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran). Kegiatan membaca pada tahap ini untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan peserta didik membaca buku nonteks pelajaran yang dapat berupa buku tentang pengetahuan umum, kegemaran, minat khusus, atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP, dan 18 buku bagi siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran ini disediakan oleh wali kelas.

PENUTUP                    

Simpulan

            Permasalahan umum dalam dunia literasi di Indonesia adalah rendahnya ikatan emosional terhadap sumber informasi, salah satunya buku bacaan dan kegiatan pemanfaatan sumber informasi tersebut atau kegiatan membaca. Terkait dengan buku sebagai salah satu sumber informasi, rendahnya minat dan gairah membaca sebagian berakar dari masih kuatnya tradisi lisan dalam kehidupan sosial dan pola berpikir masyarakat Indonesia.

Guru penggerak literasi di sekolah tetap menghidupkan ruh literasi di kalangan peserta didiknya walau menghadapi keterbatasan secara jarak jauh atau LDR (Literasi dalam Rumah) secara kreatif. Literasi kreatif di era pandemi yaitu membudayakan berpikir kritis dengan hubungan LDR (Literasi dalam Rumah). Ibarat sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Satu tugas yang diberikan kepada siswa bisa bersentuhan dengan beberapa jenis literasi seperti literasi baca-tulis, literasi kesehatan, literasi lingkungan, literasi numerasi, literasi finansial, literasi teknologi informasi, literasi spiritualitas, literasi seni-budaya, dan literasi kewarganegeraan. Intinya, kembali kepada kreativitas guru dalam memberikan penugasan kepada para siswa.

Walau dalam kondisi pandemi, semangat untuk menumbuhkan gerakan literasi jangan sampai padam. Tidak perlu dilakukan Secara secara seremonial atau dinyatakan secara resmi bahwa tugas yang diberikan kepada siswa itu adalah gerakan literasi, karena khawatir dianggap menjadi beban baru bagi siswa mengingat bahwa kondisi psikologi siswa disaat pandemi harus dijaga alias jangan sampai stres.

Membudayakan berpikir kritis dengan hubungan LDR (Literasi dalam Rumah) dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan keluarga. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas rumah (ketersediaan fasilitas, bahan bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga rumah, dan kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang relevan).

Jadi, pada dasarnya kepekaan dan daya kritis akan lingkungan sekitar lebih diutamakan sebagai jembatan menuju generasi literat, yakni generasi yang memiliki keterampilan berpikir kritis terhadap segala informasi untuk mencegah reaksi yang bersifat emosional.

Daftar Acuan

Mahbudin, 2020. “Tanam Budaya Literasi Sejak Dini” – Kepala Perpustakaan MTsN 1 Pandeglang. Semarang.

Republika, 12 september 2015.

Sumber Internet:

Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf). (Diakses pada tanggal 22 September 2020, pada pukul 21.12 WIB).

https://www.ayosemarang.com/read/2020/08/25/62601/tanam-budaya-literasi-sejak-dini-selama-pandemi (Diakses pada tanggal 31 September 2020, pada pukul 11.16 WIB).

https://www.kompasiana.com/idrisapandi/5ee64459097f36721c3d30d2/literasi-kreatif-di-masa-pandemi?page=all  (Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, pada pukul 18.47 WIB).

Leave a Reply

Kategori Berita

Berita Terkini

Pembekalan Pendidik dan Tenaga Kependidikan SMA Hang Tuah 5 Sidoarjo
28 July 2023
Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445H
28 July 2023
Sosialisasi Remaja dan Bakat Minat oleh RSUD Sidoarjo
26 July 2023
MPLS-PDB 2023-2024 Day 3
20 July 2023
MPLS-PDB 2023-2024 Day 2
19 July 2023